Santri, Pesantren, dan Entrepreneurship

Santri, Pesantren, dan Entrepreneurship
Santri dikenal sebagai orang yang memiliki sifat mandiri dalam hidup. Tidak bergantung kepada orang lain. Mereka jauh dari orang tua dan sanak famili, sehingga semuanya dikerjakan sendiri di pesantren. Disebutkan pula bahwa santri adalah pengambil resiko (risk taker). Ia meninggalkan kenyamanan yang ada di rumah dan tinggal di pesantren yang fasilitasnya seadanya. 

Dari beberapa sumber yang ada, dua sifat tersebut di atas adalah sifat dasar daripada seorang entrepreneur atau pengusaha. Jika memang seperti itu, sebetulnya santri sudah memiliki modal awal untuk menjadi seorang entrepreneur, tapi di lapangan kita bisa hitung berapa santri yang menjadi seorang entrepreneur? Pasti lebih banyak yang tidak.  

Data tahun 2014 menyebutkan kalau jumlah santri aktif atau yang masih belajar di pondok pesantren adalah 3,65 juta. Jika dikalkulasi dengan mereka yang sudah lulus, tentu jumlahnya puluhan juta. Jumlah pondok pesantren kita juga tidak kalah banyak, ada sekitar 28 ribu pesantren di Indonesia sebagaimana yang tercatat oleh Kementerian Agama RI. 

Sebuah jumlah yang tidak sedikit, andaikan saja semuanya –atau setengahnya- menjadi seorang entrepreneur maka santri dan pesantren bisa saja lebih makmur. Akan tetapi sepertinya sifat dasar entrepreneur yang dimiliki seorang santri tersebut –mandiri dan berani mengambil resiko- tidak berbanding lurus dengan pekerjaan yang ditekuni. Mungkin lebih banyak santri yang masuk dunia partai politik daripada dunia entrepreneurship.

Terkait hal ini, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat berhasil mewawancarai Presiden Direktur Benhokk Property yang juga Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tangerang Selatan (PCNU Tangsel) Nurul Yaqin pada Rabu, (17/1) di kediamannya di Ciputat Tangerang Selatan. Dulu, dia pernah nyantri di Perguruan Islam Mathali’ul Falah selama 6 tahun. Saat ini, ia aktif di berbagai organisasi asosiasi real estate, seperti Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) dan Ketua Kompartemen di Real Estate Indonesia (REI). Berikut hasil wawancaranya:

Menurut Anda, dari jutaan bahkan puluhan juta santri yang ada, berapa prosentase santri yang betul-betul menjadi seorang entrepreneur?

Mungkin tidak sampai 20 persen santri yang menjadi seorang entreprneur.

Mengapa bisa demikian. Bukan kah santri itu memiliki sifat mandiri? Dan sifat mandiri itu merupakan sifat dasar daripada seorang entrepeneur?

Pertama, karena ada anggapan kalau entrepreneur atau dagang itu bersifat keduniaan. Kedua, entrepeneur itu bukan sesuatu yang given (yang diberikan). Di dalam entrepreneur, yang dominan itu bukan knowledge (pengetahuan), namun insting. Asal-muasal insting adalah dari interaksi sosial di dalam komunitas. Dari interaksi sosial, ia kemudian beradaptasi dan mengikuti hingga akhirnya tumbuh lah insting. Jika interaksi sosialnya dipenuhi dengan hal-hal yang berkaitan dengan entrepeneur, maka ia akan memiliki insting menjadi seorang entrepeneur.

Apa relevansinya dengan santri dan pesantren?

Di pesantren tidak diciptakan tradisi atau budaya menjadi seorang entrepeneur. Santri-santrinya tidak memiliki kebiasaan akan hal itu. Ketika keluar pesantren, maka mereka lebih cenderung terjun ke sektor-sektor keagamaan sebagaimana yang ditekankan dalam dunia pesantren. Di pesantren, seorang santri dilatih membaca tahlil, manaqib, dan pidato. Sehingga insting yang mereka miliki cenderung ke arah keagamaan.

Aktifitas-aktifitas tersebut harus memiliki pondasi, yaitu ekonomi. Karena segala aktifitas itu tidak bisa lepas dari ekonomi. Ini yang miskin di pesantren. Sangunya (saku) tidak dibicarakan di pesantren, tapi perjalanannya dibicarakan dan didiskusikan. Sehingga santri tergopoh-gopoh ketika keluar. Mereka mengalami mental shock. 

Jadi apa yang mestinya dilakukan supaya santri tidak mengalami mental shock ketika mereka selesai belajar di pesantren?

Mestinya erntrepreneur menjadi kurikulum utama agar lulusan pesantren memiliki kompetensi untuk pemberdayaan ekonomi. Hal itu bisa dimulai dengan membangun suatu kebiasaan dalam berbagai bentuk dan model, seperti aplikasi langsung atau dibangun sekolahan kejuruan di pesantren. Mestinya, membangun pengetahuan dan keterampilan itu harus sama dan berbanding lurus. Jangan pengetahuannya saja yang diperkaya, sementara keterampilannya minim.

Tidak sedikit pesantren yang menyelenggarakan workshop atau seminar dengan tema entrepreneurship. 

Berbicara entrepreneur itu bukan berbicara knowledge (pengatahuan). Kalau kebanyakan seminar, maka mereka yang dilatih akan menjadi trainer. Jadi men-training orang untuk menjadi trainer, bukan men-training orang untuk menjadi entrepreneur. Yang terjadi sekarang adalah seperti itu. Yang nular adalah ilmunya saja, padahal tujuan utamanya adalah bagaimana orang tersebut memulai kegiatan entrepreneurship. Yang saat ini perlu dilakukan adalah bagaimana membuat orang mulai mencoba terjun untuk menjadi entrepreneur.

Kunci pertama pada level awal untuk menjadi seorang entrepreneur adalah memulai, bukan pengetahuan. Meski tidak memiliki pengetahuan, entrepreneurship bisa jalan. Hal ini juga sudah dipraktikkan di pesantren. Jika kita survei, rata-rata anak yang mondok disuruh orang tuanya. Anaknya sendiri takut untuk mondok karena keterbatasan yang ada. Dalam jangka waktu satu tahun atau dua tahun, ketakutan tersebut hilang dengan sendirinya. Kenapa praktik itu tidak disubsitusikan dalam membangun persepsi tentang entrepreneurship.

Jangan di-training terus. Training itu kan suplemen, jika orang dikasih suplemen terus maka lama-lama ia akan sakit. Padahal memutuskan untuk memulai itu jauh lebih penting daripada pengetahuan yang banyak namun tidak dimulai-mulai. Semakin banyak pengetahuan, maka ia akan semakin takut untuk memulai. Pengetahuannya bisa didapat setelah memulai.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa santri itu adalah orang yang sangat berani dalam mengambil resiko? Namun lagi-lagi mengapa itu tidak bisa di-copy paste-kan dalam dunia entrepreneurship?

Sebetulnya dari segi mental, santri itu adalah risk taker (pengambil resiko). Anak lulusan sekolah dasar kemudian nyantri di pesantren. Otomatis dia harus mengontrol sendiri semua kebutuhannya. Artinya, karakter independensi mental itu dibangun di pesantren. Ini yang menjadi karakter seorang entrepreneur. Pesantren sudah membangun mentalitas menjadi seorang entrepreneur, namun tidak disalurkan. 

Semuanya sudah ada di pesantren; risk taker, independensi, belajar memanaj. Ini mestinya dibangun dan dikembangkan.  

Di pesantren, nilai-nilai yang ditanamkan adalah kesederhanaan. Mereka juga disuguhi cerita-cerita Nabi Muhammad, sahabat, dan ulama-ulama dari sisi yang miskinnya. Padahal Nabi Muhammad dan banyak sahabat yang kaya. Apakah ini juga yang membentuk mental santri sehingga seolah-olah ‘menjauh’ dari dunia wirausaha?

Saat kanak-kanak, Nabi Muhammad menjadi seorang pengembara. Remajanya menjadi pedagang. Dewasanya menjadi pengusaha. Tuanya menjadi rasul. Sedangkan, umatnya malah terbalik. Belum apa-apa langsung menjadi ustadz, sementara tuanya ingin menjadi pengusaha. Pada dasarnya, para sahabat berdakwah dengan menggunakan kendaraan berdagang. 

Santri didik untuk menjadi seorang yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya. Ini semestinya menjadi modal yang berharga bagi santri karena orang yang memiliki pengaruh itu lebih mudah mengatur dan menjalankan suatu bisnis. 

Dulu kiai dan pesantren juga mengembangkan wirausaha pertanian, perkebunan, dan berdagang, tapi ke belakang jarang elemen pesantren yang menekuni itu lagi. Apakah ini ada kaitannya dengan penjajahan Belanda di Indonesia, misalnya?

Dulu kiai melakukan perlawanan kepada penjajah secara total. Di sektor pendidikan, kiai tidak mau ikut Belanda dan mendirikan pesantren. Dalam sektor perekonomian, kiai berdagang dan membangun basis-basis ekonomi di kalangan umat Islam sendiri. Pada wilayah perjuangan, kiai dan santri juga berjuang total melawan penjajah dengan jiwa raganya.

Saat ini kita kehilangan orientasi karena program kita diacak, di-hijact sama Belanda, mungkin oleh Snouck Hurgronje. Ia menanamkan di kalangan santri bahwa santri semestinya meneladani kesalehan ritual daripada sahabat dan ulama-ulama terdahulu, bukan jiwa entrepreneurship atau kayanya. Sehingga yang diteladani hanya ritualistik para sahabat saja.    
Saat ini adalah dunia ekonomi. Dengan demikian, seharusnya kita meneladani sahabat yang entrepreneur dan kaya seperti Ustman bin Affan, Abu Bakar As Siddiq, Abdurrahman bin Auf, dan lainnya.

Di kalangan santri ada dogma bahwa banyak harta menyebabkan mudahnya orang untuk cinta dunia atau hubbud dunya. 

Dunia ini adalah jembatan menuju akhirat. Kalau jembatannya tidak dibangun, bagaimana orang bisa lewat. Sudahlah, kita harus bersantri dan berparadigma santri ala Rasulullah, para sahabat, dan tabit tabiin. Jangan ala Belanda. Karena Belanda lah  yang membuat pembedaan-pembadaan ini dunia, ini akhirat. Bukankan dalam Islam disebutkan bahwa semuanya adalah bersifat akhirat jika diniatkan untuk akhirat. Pola pikir kita terjerumus di situ.

www.nu.or.id