Jeddah merupakan kota tua. Sejarah kota ini bermula dari sebuah desa nelayan kecil di tepi Laut Merah. Desa tersebut kini telah bertransformasi menjadi kota modern, kota terbesar pusat perdagangan kedua setelah Ibu Kota Riyadh.
Pada masa lalu, pelabuhan Jeddah adalah pintu gerbang utama menuju kota suci Makkah. Ketika jamaah haji dari mancanegara berangkat ke Tanah Suci dengan kapal laut, mereka harus singgah dan berlabuh di Kota Jeddah terlebih dahulu.
Jamaah haji kita mengenal kota Jeddah sebagai lokasi favorit untuk berburu berbagai macam oleh-oleh, khususnya kawasan al-Balad. Untuk nantinya dibawa pulang ke Tanah Air. Berbagai jenis barang dijual di sana, mulai dari jam tangan, tas, pakaian, barang elektronik, hingga makanan.Untuk menggaet konsumen asal Indonesia yakni para jamaah haji, beberapa toko menggunakan nama "Murah" untuk toko mereka. Seperti toko Ali Murah, toko Kurma Murah, toko Sultan Murah, dan sebagainya.
Di samping dikenal sebagai lokasi berbelanja, al-Balad juga menyimpan peninggalan sejarah masa lalu Kota Jeddah. Beberapa bangunan sisa kejayaan di masa lalu masih bisa dilihat di kawasan al-Balad.
Di antara deretan toko yang menjajakan aneka jenis barang, terdapat puluhan bangunan tua dengan dua hingga lima lantai. Usianya diperkirakan puluhan tahun bahkan ada yang mencapai seratus tahun.
Ciri khasnya, bangunan itu berjendela yang memiliki balkon. Jendela itu disebut rawashin. Bahan bakunya terbuat dari kayu berwarna coklat tua dengan ukiran indah. Dari luar, balkon jendela itu tampak seperti kotak kayu dengan ukiran yang indah.
Balkon dan jendela kayu berukir itu tidak hanya berfungsi untuk memperindah gedung, tapi juga untuk membantu mengadang pancaran sinar matahari langsung. Fungsi lainnya adalah menangkap serta mengalirkan embusan udara ke seluruh bagian gedung, sehingga membuat sejuk ruangan pada musim panas.
Bangunan bekas tempat tinggal pada masa lalu itu didirikan berdempetan satu sama lain. Hanya dipisahkan oleh gang sempit selebar satu hingga dua meter. Pada siang hari, deretan gedung dengan gang sempit itu bermanfaat bagaikan pohon rindang menaungi pejalan kaki yang melintas, sehingga terlindung dari sengatan cahaya matahari di bawah bayangannya.
Sebagian ornamen kayu di gedung-gedung tua di kawasan perdagangan itu sudah rusak termakan usia. Ada tiga buah meriam kuno yang dipajang di tengah jalan. Konon, meriam itu digunakan untuk mempertahankan kota Jeddah dari serangan tentara Portugis pada masa lalu.
Sebagian besar bangunan-bangunan tua di al-Balad adalah milik saudagar kaya pada masa lalu. Pada 2014, kawasan ini, dengan koleksi bangunan tuanya, dinobatkan PBB menjadi situs warisan budaya dunia.
Selain berbelanja, tidak ada salahnya mampir sejenak berjalan-jalan melihat kawasan lama di al-Balad. Jamaah haji dapat menyaksikan sejarah masa lalu Kota Jeddah. Mereka juga bisa mengenang bagaimana beratnya perjuangan jamaah haji pada masa lalu, untuk mencapai Kota Suci Makkah.
Dahulu, Umat Islam Indonesia berhaji dengan menumpangi kapal laut. Mereka harus berjuang melawan ombak yang mengancam kapal mereka. Butuh waktu panjang untuk sampai ke Tanah Suci.
Kita mengenal sejumlah ulama besar asal Tanah Air yang berdakwah di Tanah Suci. Salah satunya adalah Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dia menjadi imam, khatib, dan guru besar di Masjid al-Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.*