Artikel lainnya

Menelusuri Lima Kota Besar di Jalur Sutra

Menelusuri Lima Kota Besar di Jalur Sutra
Jalur Sutra menjadi nama jalur perdagangan yang amat ramai pada masa lalu. Jalur yang menghubungkan Timur dan Barat dunia ini baru disebut "Jalur Sutra" (The Silk Road) setelah seorang Jerman bernama Von Richthofen menyebutnya pada abad ke-18 Masehi. Namun, sebetulnya, Jalur Sutra tersebut telah eksis jauh sebelum penyebutan namanya.

Disebut Jalur Sutra karena sutra yang menjadi komoditas utama di jalur perdagangan ini. Selain sutra, diperdagangkan pula rempah-rempah, wewangian, dan komoditas berharga lainnya.

Menurut Frances Wood dalam The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia, Jalur Sutra sebetulnya telah dibuka secara resmi pada abad ke-3 Sebelum Masehi (SM). Saat itu, Cina yang dipimpin Dinasti Han mengirim banyak utusan ke negara-negara Asia dan Timur Tengah. Sebetulnya, jalur itu telah ada jauh sebelum utusan itu dikirim. Adanya Jalur Sutra kuno ini terbukti dengan penemuan-penemuan arkeologi, di antaranya penggunaan sutra oleh raja-raja Mesir pada masa Dinasti Ptolomeik (sekitar abad ketiga), termasuk Cleopatra.

Kemudian pada abad ke-4 SM, orang-orang Roma dan Yunani telah membicarakan mengenai Seres, Kerajaan Sutra. Wood menyebutkan, dalam rentang satu dasawarsa sutra Cina menjadi pakaian elite Roma. Harganya sangat mahal. Sepotong sutra dihargai 3.000 denaari, yakni gaji setahun prajurit Romawi. Bahkan disebutkan, impor sutra telah mengguncang perekonomian Roma.

Adapun trek Jalur Sutra, menurut Wood, memiliki banyak cabang. Secara garis besar, ada tiga cabang, yakni utara, tengah, dan selatan. Jalur Utara menghubungkan Cina dengan Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini melalui Urumqi dan Lembah Fergana. Adapun jalur tengah menghubungkan Cina dengan Eropa hingga tepian Laut Meditrerania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgarm menuju Persia. Sedangkan, jalur selatan menghubungkan Cina dengan Afghanistan, Iran, dan India, melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir.

Di rentang kawasan yang panjang itu, terdapat sejumlah kota besar yang biasa disinggahi para saudagar. Kota-kota itu adalah:

Chang'an (Xi'an)
Chang'an merupakan ibu kota dari kekaisaran kuno yang menjadi titik pertama Jalur Sutra. Dari Chang'an ini, Cina pada masa Dinasti Han merambah Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Mediterania.

Puncak kejayaan Kota Chang'an terjadi pada masa Dinasti Tang (618-904 M). Kala itu Chang'an menjadi kota paling berbudaya di dunia. Masa kejayaan Kota Chang'an dibuktikan dengan adanya Museum Pasar Barat  Dinasti Tang yang berusia seribu tahun. Ini merupakan situs asli pasar di masa itu.

Pasar barat Chang'an juga menjadi pusat bertemunya pedagang Cina dengan pedagang Asia Tengah. Tokoh yang terkenal di era ini adalah Sogdina. Dia merupakan pedagang asal Asia Tengah yang berperan penting dalam transportasi dan perdagangan ke Cina. 

Sebagai pusat perdagangan, Chang'an menjadi tempat pertemuan dari beragam etnis dan agama. Keberadaan Islam di kota ini tampak dari adanya Masjid Agung Chang'an yang dibangun pada tahun 742 M. Berdiri sejak masa Dinasti Han, masjid ini seakan 'mati' pada masa Dinasti Tang karena kuatnya pengaruh agama Buddha pada masa itu. Namun, Masjid Agung Chang'an kembali hidup ketika Dinasti Ming memimpin Cina. Kala itu, masjid sempat dipugar. Sejarah mencatat, pedagang Muslim tiba di Cina melalui pelabuhan di Pantai Cina Selatan dan dari Asia Tengah.


 
Samarkand
Samarkand merupakan kota rupawan di jantung Asia Tengah. Kota ini menjadi bagian terpenting bagi keberadaan jalur perdagangan sutra.

Samarkand dikenal sebagai Kota Perdagangan, khususnya produk kerajinan dan pusat studi ilmiah. Sejak Dinasti Han, pedagang Samarkand sudah menjelajah berbagai sudut Cina untuk menjual logam mulia, rempah-rempah, dan kain.

Ketika Uzbekistan dipimpin oleh Tamerlane, Samarkand menjadi kota besar, bahkan menjadi ibu kota pada akhir abad ke-14. Selain Tamerlane, pemimpin yang terkenal dari Samarkand adalah Ulugh Beg.

Tamerlane dikenal sebagai pemimpin yang mampu membangun gedung-gedung tinggi dan megah. Dia juga membangun pertokoan untuk para pedagang sehingga perekonomian dan perdagangan Uzbekistan semakin maju dan menjadi pusat ekonomi dunia.

Tamerlane juga membangun Masjid Bibi Khanum. Masjid ini berada di Samarkand, dibangun antara tahun 1399-1404. Masjid ini dibangun sebagai penghormatan bagi istri Tamerlane yang telah wafat. Secara arsitektur, masjid ini menampilkan ciri khas bangunan pada masa itu, yakni adanya ubin yang melapis bagian dinding eksteriornya.

Ulugh Beg, cucu Tamerlane, merupakan seorang ilmuwan besar. Dia mampu mengembangkan Samarkand menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada 1424, dia membangun observatorium besar sehingga Samarkand menjadi salah satu pusat peradaban Islam.

Aleppo
Aleppo membentang di antara Mediterania Timur dan Lembah Eufrat. Sejak 2 SM, Aleppo telah berada di jalur utama perdagangan sutra. Sejarah juga mencatat, Aleppo merupakan kota berpenghuni paling tua di dunia.

Banyak peninggalan bersejarah yang dapat ditemukan di Aleppo. Peninggalan ini merupakan bukti adanya interaksi sosial, budaya, dan ekonomi selama abad ke-12 hingga ke-15.

Pada masa kejayaan Jalur Sutra, Aleppo dikenal sebagai kota yang memiliki banyak bangunan megah seperti benteng dan masjid. Salah satunya adalah benteng yang dibangun di atas bukit. Ada pula masjid agung yang dibangun pada abad ke-9 oleh Bani Umayyah dan sempat beberapa kali dipugar.

Peninggalan bersejarah lainnya di kota ini adalah The Bazar. Ini adalah kawasan perdagangan yang membentang sepanjang 13 kilometer. Selama ratusan tahun, kehidupan ekonomi dan sosial Aleppo berpusat di kawasan ini.

Tak hanya sebagai pusat perdagangan, Aleppo juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Banyak sarjana, ilmuwan, dan penyair yang berasal dari kota ini. Ilmuwan Muslim terkemuka yang lahir dan tumbuh di Aleppo antara lain al-Farabi, al-Qifti, Youssef al-Sibti, al-Mutanabi, dan al-Hamadani.

Mosul
Mosul merupakan kota industri dan perdagangan yang berada di Irak Utara. Ketik Jalur Sutra masih berdenyut, Mosul mengalami perkembangan pesat sebagai kota perdagangan, industri, dan komunikasi.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Mosul menjadi pusat ekonomi Jalur Sutra. Kala itu, para saudagar Mosul telah mengembangkan teknik yang canggih untuk seni dan barang tekstil.

Mosul juga dikenal dengan logam dan beragam gaya lukisan. Mosul juga memproduksi minyak mentah yang kini menjadi sumber minyak bagi Irak.

Selain sebagai kota industri, Mosul juga dikenal sebagai kota Ilmuwan. Filsuf Bakr Kasim al-Mawsili yang kondang dengan tulisannya Fi al-Nafs berasal dari kota ini. Begitu pula astronom dari abad ke-10, al-Qabisi. Ahli pengobatan modern sekaligus oftalmologis Ammar al-Mawsili pun lahir di Mosul.

Merv
Kota ini berada di Asia Tengah, tepatnya Turkmenistan. Pada awal masa kejayaan Islam, Merv merupakan ibu kota Provinsi Khorasan dan menjadi kota terbesar di dunia pada abad ke-12.

Merv merupakan pusat perdagangan emas, produk tenun, tekstil, dan tembikar. Adapun produk tekstil paling kondang dari kota ini adalah sutra. Kala itu, Merv mampu memproduksi sutra dalam jumlah berlimpah sehingga kota ini mengekspornya ke berbagai negara.

Merv juga menjadi pusat administrasi dan pusat dakwah. Banyak masjid, madrasah, istana, dan bangunan bersejarah berada di kota itu.

Sejumlah ilmuwan yang lahir di kota ini. Setidaknya, ada tiga ahli matematika dan astronomi terkemuka yang berasal dari Merv. 


Erwin E Ananto  

Dinamika Syi'ar Islam di Korea Selatan

Dinamika Syi'ar Islam di Korea Selatan
Republik Korea, atau yang lebih dikenal dengan Korea Selatan, mencakup bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara berbatasan dengan Korea Utara (Korea Selatan & Korea Utara pernah bersatu hingga tahun 1948).

Sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Laut Kuning, Jepang, yakni berada di seberang Laut Jepang atau disebut 'Laut Timur' oleh orang Korea, serta selat Korea yang berada di bagian Tenggara. Sedangkan Ibukota Korea Selatan adalah Seoul.


Awal Masuknya Islam

Kehadiran Islam dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla Bersatu, bersama dengan datangnya para pedagang dan navigator asal Persia dan Arab.

Menurut geografer di kalangan muslim, termasuk Ibnu Khurdadhbih (seorang penjelajah dan ahli geografi muslim Persia abad ke-9), bahwa banyak dari mereka yang tinggal menetap di Korea, dan membangun pemukiman muslim. Beberapa catatan menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak. Pada gilirannya, mereka pun menikah dengan wanita Korea.

Hubungan perdagangan antara dunia

Islam dan semenanjung Korea dilanjutkan oleh Kerajaan Goryeo sampai pada abad ke-15 Masehi. Akibatnya, sejumlah pedagang Muslim dari Timur Dekat dan Asia Tengah menetap di Korea, menikah dan berketurunan di sana. Setidaknya, satu klan utama Korea, keluarga Chang yang menetap di desa Toksu mengklaim bahwa keturunannya berasal dari keluarga Muslim. Beberapa Muslim Hui dari Cina juga tampaknya telah tinggal di Kerajaan Goryeo.

Pada 1154 Masehi, Korea termasuk dalam peta dunia seorang geografer Arab, Muhammad al-Idrisi, Tabula Rogeriana. Peta tertua dunia Korea, Kangnido, menarik pengetahuan dari Kawasan Barat dari karya geografi Islam. Kontak kecil dengan masyarakat mayoritas Muslim, khususnya Uighur, berjalan terus dan semakin dekat.

Satu kata untuk Islam dalam bahasa Korea, Hoegyo berasal dari Huihe nama bahasa Tionghoa tua untuk Uighur. Setidaknya dua orang Uighur tinggal di Korea saecara menetap dan menjadi nenek moyang dari dua klan Korea.

Selain itu, pada periode awal Joseon, penanggalan IsIam sudah berfungsi sebagai dasar untuk kalender yang lebih akurat dari kalender Cina yang ada. Penerjemahan Korea dari Huihui Lifa, sebuah teks yang memadukan astronomi Cina dengan astronomi Islam, dipelajari di Korea di bawah Dinasti Joseon pada masa Sejong yang Agung pada ahad ke-15. Tradisi astronomi Cina-Islam bertahan di Korea sampai awal abad ke-19. Namun, karena isolasi politik dan geografis Korea selama periode Joseon, Islam sempat menghilang di Korea dan diperkenalkan kembali pada abad ke-20.

Islam diperkenalkan ke Korea oleh Brigade Turki yang datang untuk membantu Korea selama perang. Sejak itu, Islam terus tumbuh di Korea dan diadopsi oleh kalangan penduduk asli Korea yang cukup signifikan.

Islam diperkenalkan ke Korea oleh Brigade Turki yang datang untuk membantu Korea selama perang. Sejak itu, Islam terus tumbuh di Korea dan diadopsi oleh kalangan penduduk asli Korea yang cukup signifikan.

Seoul Central Mosque

Seoul Central Mosque adalah masjid pertama di Korea Selatan adalah Seoul Central Masjid and Islamic Center yang berada di kota Itaewon. Arsitekturnya yang khas itu membuat wisatawan akan dengan mudah mengenali masjid ini. Di pintu utama terdapat tulisan 'Allahu Akbar' yang cukup besar. 


Masjid itu juga dikatakan satu-satunya masjid kota yang jika hujan tiba berubah menjadi kota sejuta payung. Bagi warga setempat dan non muslim, masjid ini merupakan titik destinasi wisata karena keindahan arsitekturnya.

Kaum muslimin yang tinggal di Seoul lebih mengenal sebagai Masjid Itaewon. Masjid Itaewo selalu penuh setiap hari Jumat, tidak kurang dari 500 Jamaah shalat Juma’t dari dalam Masjid sampai hingga ke halaman Masjid. Setelah shalat Juma’t, biasanya banyak orang berkelompok sesuai dengan kebangsaannya (para mahasiswa dari Indonesia atau Malaysia yang jumlahnya lebih dominan dibandingkan dengan para mahasiswa Muslim dari Negara lainnya).

Cecep Syamsul Hari dalam situs koreana.or.kr menjelaskan setiap hari Juma’t, wajah-wajah Muslim dari kalangan imigran asal Asia Tenggara dan Timur Tengah, dan komunitas Muslim asli warga Seoul ini mudah ditemukan di Masjid Itaewon dan sekitarnya. Adapun khutbah jurmat disampaikan dalam tiga bahasa, dan tiga khatib yang bergiliran menyampaikan. Satu orang berasal dari Pakistan, seorang dari Indonesia, dan yang lainnya Korea sendiri.

Khutbah pertama menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. khutbah kedua disampaikan yang isinya dalam bahasa Korea. "Khutbah dalam tiga bahasa itu betul-betul sangat mem-bantu jamaah shalat Juma’t. Apalagi pengurus masjid menyediakan buletin gratis yang berisi khutbah dalam tiga bahasa itu," tandasnya.

Mushala di Kampus-kampus

Pada tahun 2010, Universitas Kookmin telah membangun tempat ibadah untuk Muslim berukuran 40 meter persegi. Ruang ibadah tersebut untuk 86 siswa dari negara-negara Muslim yang belajar di sana di bawah nama Saudi Club.


Begitupun dengan Kyung Hee University, ia menyediakan ruang doa untuk sekitar 60 siswa Muslim. Sementara itu, Sungkyunkwan University baru membangun sebuah ruang doa khusus di asramanya pada tahun 2013, yang digunakan oleh sekitar 170 siswa dari negara-negara Muslim.

Setelah Korean Wave mencoba merekrut mahasiswa dari negara-negara Universitas Korea juga melakukan upaya untuk memenang-kan hati umat Islam. Selain itu, Universitas Sejong juga mulai menyediakan tempat ibadah bagi mahasiswa Muslim di ruang bawah tanah asrama dan menyediakan menu makanan halal.

Seorang warga Pakistan yang bekerja pada gabungan guru dan program doktor dalam studi konten digital di Sejong University, Aslan seperti dilansir OnIslam (14/5) mengatakan dengan disediakan tempat ibadah maka ia dan 50 mahasiswa Muslim di Univeisitas dapat melakukan ibadah secara damai dan bebas lima kali sehari.

Mengadaptasi Sistem Halal UEA

Korea Selatan akan mengadaptasi sistem halal Uni Emirat Arab (UEA) yang diharapkan bisa menjadi katalis perdagangan produk hewan. "Program sistem sertifikasi halal UEA akan dikenalkan di Korea Selatan. Kami harap produk-produk Korea Selatan akan makin populer di UEA," ungkap Duta Besar Korea Selatan untuk UEA Kwon Hae-ryong seperti dikutip The National, Selasa (1/9).

Korea Selatan bahkan membuka Kantor Pusat Perdagangan Agro Korea di Abu Dhabi. Kantor ini akan bertukar informasi mengenai sertifikasi halal dengan Otoritas Standardisasi dan Metrologi Emirat (Esma). "Perdagangan kedua negara sangat intensif. Permintaan produk-produk Korea Selatan juga meningkat dari tahun ke tahun," kata Presiden CEO Korea Agro-Fisheries and Food Trade Corporation Kim Jae-soo.

Wisata Halal di Korsel

Pada 2014 Negeri Ginseng berhasil mencapai jumlah pengunjung 1.4 juta wisatawan, sebanyak 750 ribu di antaranya adalah Muslim. Tingginya minat Muslim yang berwisata ke Korsel mem-buat negara itu terus berbenah, salah satunya menghadirkan restoran halal.

Pada 2017 nanti Korsel mengincar sekitar 20 juta wisatawan Muslim untuk berkunjung ke negara itu. Korea Selatan pun terus berupaya menarik perhatian wisatawan Muslim dari berbagai negara di dunia. Karenanya, mulai tahun 2016 kota metropolitan di Korsel akan memiliki restoran masakan Korea yang bersertifikat halal. Saat Korsel baru memiliki lima restoran halal bersertifikat.

Restoran baru akan dibuka di Daegu dan akan menjadi restoran kedua yang menawarkan menu halal Korea, setelah satu resto di kawasan Itaewon, Seoul. "Kami melihat beberapa Muslim Korea juga tertarik membuka restoran halal Korea," kata seorang pejabat kota, beberapa waktu lalu, seperti dikutip laman Muslim Village.
Pemerintah kota pun menyambut hangat rencana tersebut. Restoran di Daegu itu berencana mendapatkan sertifikasi halal dari Malaysia. Menu Korea di restoran ini, termasuk bulgogi, bibimbap, dan ikan bakar.

"Kami berencana mendukung pembukaan restoran halal tahun depan dengan memberikan bantuan dana dan dukungan lainnya kepada mereka, "katanya. Menurutnya, ada tiga pemasok bahan makanan yang juga akan membuka tempat di restoran tersebut.

Jumrah.com

Islam Arab atau Islam Cina?

Islam Arab atau Islam Cina?
Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam

Beberapa teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.


Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada laporan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i.


Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.


M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.


Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.


Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.


Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M.


Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.


Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.


Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.


Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.


Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.


Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.


Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.


Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.


Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam.


Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.


Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.


Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang.


Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas.(*)


historia.id

Indonesia Bubar di 2030? Ketua PBNU: Insya Allah Selamat

Indonesia Bubar di 2030? Ketua PBNU: Insya Allah Selamat
Ketua Umun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menilai pernyataan Ketua Umun Partai Gerindra Prabowo Subianto, soal prediksi Indonesia bubar pada tahun 2030 bisa dijadikan sebagai peringatan. Tapi dia yakin itu tidak akan terjadi.

Said Aqil mengajak masyarakat untuk optimis Indonesia akan lebih baik. Ia juga yakin Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap akan utuh.

"Kalau sifatnya Prabowo itu warning, ya bisa terima, itu baik. Tetapi kalau pesimis, itu tidak boleh. Kita tidak boleh pesimis. Insya Allah Indonesia selamat selama ada NU sebagai pilar rakyat, pilarnya civil society. Insya Allah," ujar Said Aqil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (21/3/2018).

Menurut Said Aqil, pemerintahan saat ini sedang melakukan redistribusi aset. Salah satunya dengan cara pemberian sertifikat tanah untuk masyarakat di saat melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah.

"Makanya Pak Jokowi sedang melakukan redistribusi aset, untuk mengurangi itu tadi," kata dia.

"Dulu yang melakukan pembagian tanah dengan tidak adil siapa? Bukan Pak Jokowi kok. Ada pengusaha yang punya tanah jutaan hektare," kata Said Aqil menambahkan.

www.suara.com

Tentang Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)

Tentang Nahdlatul Ulama
Sejarah
Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. 

Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.


KH. Hasyim Asy’ari
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Sikap Kemasyarakatan
Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, dan dalam masalah khilafiyah itu sendiri, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan

Tawasuth dan I’tidal
Sikap teguh yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah hidup bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim)

Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah, menyerasikan kepada Allah Swt., khidmah sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang

Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan
(diambil dari Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo tahun 1984, komisi II tentang Khittah dan organisasi bagian 4)

Tujuan Organisasi
(1) Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/jam’iyyah diniyyah islamiyyah
ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan
martabat manusia.
(2) Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut
faham Ahlusunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat
yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi
terciptanya rahmat bagi semesta.
(Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama)

Usaha Organisasi

Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur Organisasi

Pengurus Besar (tingkat Pusat)
Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)
Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

Mustasyar (Penasehat)
Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

Syuriaah (Pimpinan tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Gus Mus: Berbaik-baik kepada Non-Muslim, Ndak Papa, asal ...

Gus Mus: Berbaik-baik kepada Non-Muslim, Ndak Papa, asal ...

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus mengatakan bahwa tidak menjadi persoalan jika seorang Muslim ‘bermesra’ atau berbaik-baik kepada Non-Muslim selama mereka tidak memerangi umat Islam.

“Kita berbaik-baik ndak papa, ndak masalah kepada mereka yang tidak memerangi kita, tidak mengusir kita,” kata Gus Mus dalam sebuah video yang diunggah akun @GusMus Channel di Youtube, Senin (2/4).

Namun sebaliknya, imbuh Gus Mus, jika ada Non-Muslim yang mengusir atau menjajah umat Islam maka mereka harus diperangi.

“Tapi kalau mereka memerangi kita, mengusir kita, menjajah kita, kita harus melawan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Mustasyar PBNU ini menyebutkan, mereka yang tidak ikut berperang dalam beberapa perang di zaman Nabi Muhammad misalnya juga tidak bisa dihukum atau dibunuh karena alasan apapun. 

“Itu ndak boleh, yang gak ikut perang terus dibunuh. Ndak ada. Perempuan, anak-anak ndak bisa. Meskipun dia orang kafir karena dia tidak ikut perang,” terangnya. 

Hal ini sesuai dengan QS. Al-Mumtahanah ayat 8: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. 

www.nu.or.id | Muchlishon 

Beda NU dan Muhammadiyah

Beda NU dan Muhammadiyah
Di emperan masjid selepas sembahyang Maghrib, Julkipli menghampiri teman ngopinya, Durakim. Belum sempurna Durakim menyandarkan punggung ke tembok, pertanyaan berat disodorkan kepada dirinya.

"Dur, bagaimana pandangan Islam tentang Indonesia yang memilih bentuk negara Pancasila, bukan negara Islam?"

"Menurut siapa dulu: NU atau Muhammadiyah?"

"NU, deh."

"Hukumnya boleh. Karena bentuk negara itu hanya wasilah, perantara. Bukan ghayah, tujuan."

"Kalau menurut Muhammadiyah?"

"Sama."

Julkipli melempar pertanyaan berikutnya, "Kalau melawan Pancasila, boleh tidak? Kan bukan Al-Qur'an?"

"Menurut NU atau Muhammadiyah?"

"Muhammadiyah, coba."

"Tidak boleh. Pancasila itu bagian dari kesepakatan, perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji," jawab Durakim.

"Kalau menurut NU?"

"Sama."

Sampai di sini, Julkipli mulai jengkel. Ia merasa dikerjain Durakim. Jawaban menurut NU dan Muhammadiuah kok selalu 'sama'. Asem betul kawan satu ini.

"Kamu gimana sih, Dur. Kalau memang pandangan NU dan Muhammadiyah sama, ngapain kamu suruh aku milih 'menurut NU atau Muhammadiyah'?"

"Ya... kita harus dudukkan perkara pemikiran organisasi para ulama itu dengan benar, Jul. Nggak boleh serampangan."

"Serampangan bagaimana?" sahut Julkipli.

"Kalau Muhammadiyah itu kan ajarannya memang merujuk ke Rasulullah." Durakim membetulkan kopiahnya

"Lha, kalau NU?"

"Sama."

(Mahbib)