Islam mengajarkan kepada kita menjadi seorang istri juga suami yang baik. Sungguh sayang, bila aturan Islam yang demikian adil, arif dan sempurna banyak dilanggar oleh pemeluknya termasuk dalam hal mengatur rumah tangga. Pelanggaran yang terjadi bisa karena kesengajaan, atau sikap masa bodoh terhadap apa yang menjadi syariat.
Menyinggung tentang kesalahan yang ada pada suami dalam berbuat dan bersikap terhadap istrinya: dua posisi yang berlawanan, antara yang berlebih-lebihan dan yang menyia-nyiakan.
Jika seorang suami mempunyai kesalahan dan kekurangan, Islam akan menegur dan mengarahkannya kepada kebaikan dan hal yang semestinya. Untuk bisa mengambil pelajaran dan melakukan perbaikan diri, tidak ada salahnya kita menengok kekeliruan yang terjadi lalu kita melihat sikap yang seharusnya dan semestinya dilakukan oleh seorang suami.
Kekeliruan pertama: Suami menghinakan istri, merendahkan dan melanggar hak-haknya. Ia membiarkan istrinya tanpa bimbingan dan arahan sehingga istri tidak tahu apa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala terhadap dirinya.
Akibatnya, si istri sering menyelisihi aturan Allah, dan bisa jadi merusak keluarganya serta memenuhi seruan setiap orang yang mengajaknya kepada kejelekan. Sikap suami yang meremehkan istri dan tidak mengerti arti penting istri ini tidak dibolehkan oleh syariat.
Syariat justru memberikan kemuliaan kepada wanita dan meninggikan kedudukannya. Al-Qur’an yang mulia turun memerintahkan suami untuk bergaul dengan baik kepada istrinya.
"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Jika kalian tidak menyukai mereka (bersabarlah), karena bisa jadi kalian tidak."
Rasulullah SAW dalam haji Wada’ tidak lupa menganjurkan para suami agar memperbaiki pergaulan mereka dengan istri-istri mereka. Di saat kaum muslimin berkumpul dalam jumlah yang besar tersebut, Ia bersabda: "Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kekeliruan kedua: Mereka melepas tali kendali para istri, membebaskan sebebas-bebasnya, dan membiarkannya begitu saja kemana si istri suka. Akibatnya, si istri bebas bepergian tanpa mahram, bercampur baur dengan lelaki lain di tempat umum, di tempat kerja, dan sebagainya. Padahal Allah telah mengangkat suami sebagai qawwam, sebagaimana firman-Nya:
"Para lelaki adalah pimpinan bagi para wanita.” (an-Nisa: 34)
Sebagai pemimpin, suami bertanggung jawab membimbing istrinya kepada kebaikan, dan tidak membiarkannya begitu saja. Sikap suami pada dua keadaan yang berlawanan ini akan menimbulkan akibat yang buruk.
PERCERAIAN
Kita mengetahui konsekuensi dari perceraian ini: tercerai-berainya keluarga dan tersia-siakannya anak. Parahnya akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perceraian sehingga membuat ikatan keluarga menjadi terurai ini adalah target utama iblis. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh dalam sabda Rasulullah;
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian ia mengirim tentara-tentaranya. Yang paling dekat di antara mereka dengan Iblis adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) yang ditimbulkannya. Salah seorang dari mereka datang seraya berkata, "Aku telah melakukan ini dan itu."
Iblis menjawab, "Engkau belum melakukan apa-apa." Lalu datang yang lain seraya berkata, "Tidaklah aku meninggalkan dia (manusia yang digodanya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya." Iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, "Engkaulah yang terbaik." (HR. Muslim)
PROBLEMA SUAMI ISTRI
Akibat yang jelas dari munculnya problem dalam rumah tangga adalah keluarga tidak bisa menjadi tempat pengasuhan dan pendidikan yang baik bagi generasi yang lahir di tengah-tengahnya. Sikap suami dalam dua keadaan yang berlawanan ini adalah dosa yang akan dituntut di hadapan Allah karena Rasulullah bersabda;
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya… Dan suami adalah pemimpin atas keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat an-Nasai disebutkan bahwa Rasulullah bersabda;
"Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya. Sampai-sampai seorang suami pun akan ditanyai tentang keluarganya.” (Disahihkan oleh al-Imam al-Albani dalam ash Shahihah no. 1636)
Bukankah seorang suami berkewajiban menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka, sebagai pengamalan dari firman Allah;
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (at-Tahrim: 6)
Dari sinilah kita memahami, bahwa sikap yang patut dari seorang suami adalah ia menjalankan fungsinya sebagai qawwam di tengah keluarganya.
Hendaknya ia memuliakan istrinya dengan memberikan hak-haknya. Ia juga hendaknya memberikan pengajaran aturan-aturan syariat, hukum Allah Ta'ala, dan Sunnah Rasul-Nya kepada sang istri secara langsung ataupun lewat perantara, karena suami bertanggung jawab untuk menyelamatkan istri dan anak keturunannya dari api jahanam.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Jumrah.com